RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan :
SMA
Mata Pelajaran :
Bahasa Indonesia
Kelas/Semester :
X/1
Alokasi Waktu :
2 x 45 menit
Kemampuan :
Bersastra
A.
Standar
Kompetensi:
Membaca:
Memahami
wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen.
B.
Kompetensi Dasar:
Menganalisis
keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
C. Indikator:
1. Menentukan
karakter tokoh cerpen
2. mengaitkan
karakter tokoh di dalam cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
D.
TUJUAN PEMBELAJARAN :
Setelah
membaca cerpen yang diberikan, diharapkan siswa dapat:
1.
menemukan
karakter tokoh di dalam cerpen
2.
mengaitkan
karakter tokoh di dalam cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
E. MATERI PEMBELAJARAN
1. Unsur-unsur
intrinsik di dalam cerpen
2. Penokohan
sebagai salah satu unsur intrinsik cerpen yang dapat dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari
F. MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN
·
Model : Kooperatif
·
Pendekatan : CTL (Konstruktivisme, MB, Inkuiri)
·
Metode : Tanya jawab, TTW (Think, Talk, Write)
G. BAHAN
kutipan
cerpen “Pesta Syukuran” (sebagai contoh) dan Cerpen “Rumah yang Terang”
(sebagai bahan untuk latihan).
H. ALAT
Spidol, kertas karton,
lem, papan tulis
I. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
No.
|
Kegiatan
|
Met.
|
Wkt
|
Peng. Kls
|
I.
A.
|
KEGIATAN AWAL (10
MENIT)
1. Mengondisikan
kelas: menyiapkan seluruh warga kelas dan alat pembelajaran, serta
mempresensi
2. Memotivasi siswa
sebagai kegiatan apersepsi dengan
cara:
a. mengingatkan kembali unsur-unsur intrinsik cerpen
dan berssama-sama menentukan beberapa unsur intrinsik yang dapat dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari.
b. Menampilkan kutipan cerpen untuk bersama-sama
menganalisis penokohannya, dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari
3. Menyampaikan
tujuan pembelajaran
4. Menyampaikan
prosedur pembelajaran, yaitu berkelompok
|
Tanya jawab
|
|
Persiapan kelas
Pemberian motivasi
|
II.
|
KEGIATAN/INTI
(65 MENIT)
A. EKSPLORASI
1.
Siswa dibagi
dalam kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 3 orang
2.
siswa diminta
membaca cerpen
B.
ELABORASI DAN KOLABORASI
1. tiap kelompok dibagikan lembar tugas kelompok, yaitu
menganalisis satu penokohan di dalam cerpen dan kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari. tiap kelompok
menganalisis penokohan yang berbeda dengan kelompok lain
2. masing-masing kelompok berdiskusi dan mengisi lembar
tugas kelompoknya.
3.
Masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Kelompok lainnya dapat
mengomentasi dan memberi masukkan
C.
KONFIRMASI
1.
setelah semua kelompok selesai melakukan
presentasi, guru memberi kesempatan masing-masing siswa melaporkan hasil
diskusi pada lembar tugas individu.
2.
pemberian penguatan/reinforcement
|
TTW
TTW
|
|
Pembentukkankelompok
Diskusi kelompok
Prsesentasi di depan kelas
Pengerjaan tugas individu
|
III.
|
KEGIATAN PENUTUP
(15 MENIT)
1. Siswa membuat
rumusan simpulan tentang pembelajaran yang sudah diikutinya dan guru
memberikan penguatan
2. Siswa
mengungkapkan kesan terhadap pembelajaran yang baru berlangsung dan manfaat
dari mempelajari KD ini dengan menggunakan bahasa yang santun sebagai kegiatan
refleksi.
3. Siswa mengerjakan
soal evaluasi
|
Tanya jawab
|
|
menyimpulkan pembelajaran
pengerjaan soal evaluasi
|
J.
SUMBER PEMBELAJARAN
1. Lembar Kerja
K.
PENILAIAN
Indikator
|
Soal
|
1. Menentukan
karakter tokoh cerpen.
|
Tentukan karakter tokoh
cerpen!
|
2. mengaitkan
karakter tokoh di dalam cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
|
Kaitkan karakter tokoh di dalam cerpen dengan
kehidupan sehari-hari!
|
No.
|
Rincian Tugas Kinerja
|
Skor maksimum
|
Skor Asesmen
|
|
Oleh Siswa
|
Oleh Guru
|
|||
1.
|
Menentukan karakter tokoh cerpen
|
30
|
|
|
2.
|
Menunjukkan bukti yang menguatkan karakter tokoh berupa
kutipan cerpen
|
20
|
|
|
3.
|
mengaitkan penokohan dengan realitas di kehidupan
sehari-hari
|
50
|
|
|
|
Total
|
100
|
|
|
Bengkulu,.... 2013
Praktikan
Rina Syafputri
*Lampiran
Rumah Yang Terang
Ahmad Tohari
Listrik
sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah banyak yang dilakukannya. Kampung
seperti mendampat injeksi tenaga baru yang membuatnya menggeliat penuh gairah.
Listrik memberi kampungku cahaya, musik, es, sampai api dan angin. Di
kampungku, listrik juga membunuh bulan di langit. Bulan tidak lagi menarik hati
anak-anak. Bulan tidak lagi mampu membuat bayang-bayang pepohonan. Tapi kampung
tidak merasa kehilangan bulan. Juga tidak merasa kehilangan tiga laki-laki yang
tersengat listrik hingga mati.
Sebuah tiang lampu
tertancap di depan rumahku. Seperti semasa teman-temannya sesama tiang listrik
yang membawa perubahan pada rumah yang terdekat, demikian halnya beton langsing
yang menyangga kabel-kabel di depan rumahku itu. Bedanya, yang dibawa ke
rumahku adalah celotehceloteh sengit dua tetangga di belakang rumahku.
Sampai sekian lama,
rumahku tetap gelap. Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah yang membuat
tetangga di belakang rumah jengkel terusterusan.
Keduanya sangat berhasrat
menjadi pelanggan listrik. Tapi hasrat mereka tak mungkin terlaksana sebelum
ada dakstang di bubungan rumahku.
Rumah dua tetangga di
belakang itu terlalu jauh dari tiang. Kampungku yang punya kegemaran berceloteh
seperti mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap ayah. Tentu saja dua
tetangga itulah sumbernya.
“Haji Bakir itu
seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya tetapi tak mau pasang
listrik. Tentu saja dia kawatir akan keluar banyak duit.”
Kadang celoteh yang sampai
di telingaku sedemikian tajam sehingga aku tak kuat lagi menerimanya. Mereka
mengatakan ayahku memelihara tuyul. “Tentu saja Haji Bakir tak mau pasang
listrik karena tuyul tidak suka cahaya terang.” Yang terakhir kedua tetangga
itu merencanakan tindakan yang lebih jauh. Entah belajar dari mana mereka
menuduh ayahku telah melanggar asas kepentingan umum. Mereka menyamakan ayahku
dengan orang yang tidak mau menyediakan jalan bagi seseorang yang bertempat
tinggal di tanah yang terkurung. Konon mereka akan mengadukan ayahku kepada
lurah.
Aku sendiri bukan tidak
punya masalah dengan sikap ayah. Pertama, akulah yang lebih banyak menjadi
bulan-bulanan celoteh yang kian meluas di kampungku. Ini sungguh tidak nyaman.
Kedua, gajiku sebagai propagandis pemakaian alat kontrasepsi memungkinkan aku
punya radio, pemutar pita rekaman, juga TV (karena aku masih bujangan). Maka
alangkah konyolnya sementar listrik ditawarkan sampai ke depan rumah, aku masih
harus repot dengan setiap kali membeli baterei dan nyetrum aki.
Ketika belun tahu latar
belakang sikap ayah, aku sering membujuk.
Lho, kenapa aku dan ayah
tidak ikut beramai-ramai bersama orang sekampung membunuh bulan? Pernah
kukatakan, apabila ayah enggan
mengeluarkan uang maka pasal memasang
listrik akulah yang menanggung
biayanya. Karena kata-kataku ini ayah
tersinggung. Tasbih di tangan ayah
yang selalu berdecik tiba-tiba
berhenti.
“Jadi kamu seperti
orang-orang yang mengatakan aku bakhil dan pelihara tuyul?”
Aku menyesal. Tapi tak
mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa beliau
tidak mau pasang listrik. Dan alasan itu tak mungkin kukatakan kepada siapa
pun, khawatir hanya mengundang celoteh yang lebih menyakitkan. Aku tak rela
ayah mendapat cercaan lebih banyak.
Betapa juga ayah adalah
orang tuaku, yang membiayai sekolahku sehingga aku kini adalah seorang
propagandis pemakaian alat kontrasepsi. Lalu mengapa orang kurang menghayati
status yang kini kumiliki. Menjadi propagandis tersebut tidak hanya membawa
keuntungan materi berupa gaji dan insentif melainkan ada lagi yang lain.
Jadi, aku mengalah pada
keteguhan sikap ayah. Rela setiap kali beli baterai dan nyetrum aki, dan rela
menerima celoteh orang sekampung yang tiada hentinya.
Ketika ayah sakit, beliau
tidak mau dirawat di rumah sakit. Keadaan beliau makin hari makin serius. Tapi
beliau bersiteguh tak mau diopname. Aku berusaha menyingkirkan perkara yang
kukira menyebabkan ayah tak mau masuk rumah sakit.
“Apakah ayah khawatir di
rumah sakit nanti ayah akan dirawat dalam ruang yang diterangi lampu listrik?
Bila demikian halnya maka akan kuusahakan agar mereka menyalakan lilin saja
khusus bagi ayah.
Tanggapan ayah ada rasa
tersinggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah biru memucat. Ya, Tuhan,
lagi-lagi aku menyesal. Dan jiwaku mendadak buntu ketika mendengar ucapan ayah
yang keluar tersendat-sendat.
“Sudahlah, Nak. Kamu
lihat sendiri aku hampir mati. Sepeninggalku nanti kamu bisa secepatnya
memasang listrik di rumah ini.
Tidak pernah sekalipun
aku mendengar kata-kata ayah yang mengandung ironi demikian tajam. Sesalku tak
habis-habisnya. Dan malu. Kewahlianku melakukan pendekatan verbal yang biasa
aku lakukan selama menjadi propagandis alat kontrasepsi ternyata hanya punya
arti negatif di hadapan ayah. Lebih malu lagi karena ucapan ayah tadi adalah
kata-kata terakhir yang ditujukan kepadaku.
Seratus hari sudah
kematian ayah orang-orang bertahlil di rumahku sudah duduk di bawah lampu neon
dua puluh watt. Mereka memandangi lampu dan tersenyum. Dua tetangga belakang
yang tentu saja sudah pasang listrik mendekatiku.
“Nah, lebih enak dengan
listrik, ya Mas?”
Aku diam karena sebal
melihat gaya mereka yang pasti menghubunghubungkan pemasangan listrik di
rumahku yang baru bisa terlaksana sesudah kematian ayah. Oh, mereka tidak tahu
bahwa aku sendiri menjadi linglung.
Listrik memang sudah
kupasang tapi aku justru takut menghidupkan radio, TV, dan pemutar pita
rekaman. Sore hari aku tak pernah berbuat apa pun sampai ibu yang menghidupkan
lampu. Aku enggan menjamah sakelar karena setiap kali aku melakukan hal itu
tiba-tiba bayangan ayah muncul dan kudengar keletak-keletik suara tasbihnya.
Linglung. Maka tiba-tiba mulutku nyerocos. Kepada tamu yang bertahlil aku
mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ayahku tidak suka listrik, suatu hal
yang seharusnya tetap kusimpan.
“Ayahku memang tidak suka
listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan
cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka ayahku khawatir tidak
ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur”. Aku siap menerima celoteh dan
olok-olok yang mungkin akan dilontarkan para tamu. Karena aku sendiri pernah
menertawakan pikiran ayah yang antik itu. Aneh, para tamu malah menunduk. Aku
juga menunduk, sambil berdoa tanpa sedikitpun kadar olok-olok. Kiranya ayahnya
mendapat cukup cahaya di alam sana.
(diambil
dari buku Berkenalan Dengan Prosa Fiksi,
Suminto A.
Sayuti, 2000: 213-217)
LEMBAR KERJA
Standar Kompetensi :
Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi
dan cerpen.
Kompetensi Dasar :
Menganalisis
keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
Tujuan Pembelajaran :
Setelah membaca cerpen “Pesta
Syukuran”, diharapkan siswa dapat:
1. Menentukan
karakter tokoh cerpen
2. mengaitkan
karakter tokoh di dalam cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
Ringkasan Materi
Penokohan/karakterisasi
adalah cara penulis menggambarkan tokoh-tokohnya. Tokoh tidak bisa terlepas
dari watak yang digambarkan oleh pengarang di dalam karya-karyanya.
Kualitas watak tokoh dalam cerpen
jarang dikembangkan secara penuh karena pengembangan semacam itu membutuhkan
waktu. Tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya,
hanya ditunjukkan tahapan tertentu perkembangan karakter tokohnya.
Hubungan antara tokoh fiksi di dalam
cerpen dengan manusia di kehidupan nyata sebenarnya sangat dekat. Ini
dikarenakan ada tanggung jawab dari pengarang untuk membuat karakter tokoh lifelikeness (seolah-olah nyata seperti
di kehidupan asli). akan tetapi, tentu ada sentuhan pengarang untuk membentuk
karakter tokoh sesuai dengan tema dan amanat yang ingin disampaikan kepada
pembaca.
Ada beberapa cara pengarang dalam
menggambarikan karakter tokoh. Pengarang dapat menggunakan metode penceritaan
langsung, melalui percakapan antar tokoh, melalui perbuatan yang dilakukan
tokoh, penggambaran perasaan tokoh, melalui suasana dan latar yang mengiringi,
dan lain sebagainya.
Perhatikan kutipan cerpen berikut.
Bu
Mahdi menangis. "Rupanya semua orang sudah tahu kalau kamu korupsi,
Pak."
"Ah, persetan, Bu. Yang penting, tidak akan ada
proses hukum yang bisa mengadili para koruptor seperti aku. Kalau kita
dikucilkan di dalam negeri, masih ada tempat untuk hidup nyaman di luar negeri.
Aku bisa mengikuti para seniorku yang kini hidup nyaman di negara-negara
lain."
Dari kutipan cerpen di atas, kita dapat menentukan karakter tokoh Pak
Mahdi melalui percakapannya dengan Bu Mahdi. Pak Mahdi adalah seorang pejabat
yang hanya memikirkan kanyamanan hidupnya tanpa memperdulikan dampak yang ia
lakukan, yaitu kerugian negara yang berujung pada kesengsaraan rakyat.
Buktinya, ia tidak merasa malu bahwa kedoknya sebagai koruptor telah diketahui
orang. Ia justru tidak mempedulikannya, malah ia telah memikirkan rencana
licik, yaitu lari menyelamatkan diri dari jeratan hukum ke luar negeri.
Tentunya ini sangat berkaitan sekali dengan kehidupan dewasa ini, dimana
para koruptor merajalela, seolah tidak ada rasa malu dicap sebagai koruptor dan
mengumbar senyuman termanis di depan kamera yang meliput berita tentang
kajahatan dirinya.
TUGAS
1. Bacalah
cerpen “Rumah yang Terang”, diskusikan dengan kelompokmu mengenai karakter
tokohnya kemudian secara individu isilah
tabel berikut ini.
a. kotak
nomor 1 diisi ketika diskusi kelompok, yaitu rangkuman hasil diskusi tiap
kelompok mengenai 1 karakter tokoh di dalam cerpen (tiap kelompok menganalisis
karakter tokoh yang berbeda)
b. kotak
nomor 2 dan 3 diisi ketika presentasi kelompok lain berlangsung, yaitu ketika
pembahasan mengenai karakter tokoh lainnya di dalam cerpen.
No.
|
Nama Tokoh
|
Karakter
Tokoh
|
Bukti (kutipan cerpen dan
kesimpulan dari kutipan tersebut)
|
Keterkaitannya dengan
Kehidupan Nyata
|
1
|
|
|
|
|
2
|
|
|
|
|
3
|
|
|
|
|
2.
Setelah melakukan presentasi kelas, tulis
analisis karakter tokoh hasil diskusi kelompokmu (jika diperlukan) sesuai
kesimpulan masing-masing (individu)!
Hasil Perbaikan (Setelah Diskusi)
No.
|
Nama Tokoh
|
Karakter
Tokoh
|
Bukti (kutipan cerpen dan
kesimpulan dari kutipan tersebut)
|
Keterkaitannya dengan
Kehidupan Nyata
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar