Ini adalah tugas UAS mata kuliah Komunikasi Massa saya, daripada membusuk dan sia-sia di laptop, lebih baik saya buang ke sini.
***
Pemilu 2014 semakin
dekat. Hawa panas dari suasana menjelang pemilu makin terasa. Para media ikut
berperan dalam menyalurkan berbagai berita dan isu politik kepada masyarakat,
terkait bakal calon presiden kita.
Semakin memanasnya
suasana politik tanah air, beredar beberapa calon yang digadang-gadang oleh
pendukungnya, maupun yang telah bersuara mengenai niatnya mencalonkan diri
menjadi capres. Nama-nama seperti Rhoma Irama, Farhat Abbas, dan yang baru-baru
ini marak diberitakan media infotaiment tanah air, yaitu Eyang Subur, turut
meramaikan pemberitaan mengenai bakal calon presiden baru kita. Meski demikian mereka
sendiri mengaku hanya sebatas wacana.
Mereka memang wajah baru di dunia pilpres. Akan tetapi nama
mereka tentunya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat karena intensitas
pemberitaan mereka di televisi seperti farhat abbas dan eyang subur. Siapa yang
tidak mengenal Rhoma Irama, sang Raja Dangdut yang melegenda. Wacana mengenai
pencalonan diri mereka bertiga sebagai presiden tentu menambah panjang
pemberitaan terkait diri mereka di media.
Untuk menjadi presiden, kita ketahui dibutuhkan
pendekatan diri terhadap masyarakat. Agaknya untuk point terakhir ini telah
disalahartikan oleh mereka. Membangun kedekatan dengan masyarakat dan
kepopuleran di tengah masyarakat memang dibutuhkan untuk menggalang dukungan,
namun masih ada point-point penting yang harus dipenuhi oleh seorang calon
presiden, yaitu wibawa, kredibilitas, kualitas, dan track record.
Masyarakat kita pun
tampaknya juga kian cerdas dalam menilai calon-calon presiden yang masih
dikategorikan jauh dari point-point di atas. Kendati pencalonan diri sebagai
presiden adalah hak setiap warga negara, namun seleksi di dalam diri penting
untuk dilakukan. Perlu dipahami bahwa pemilihan capres adalah
hal yang sakral, sama sekali berbeda dengan acara pencarian bakat di televisi. Tidak
mestinya setiap elemen serta merta mencalonkan diri, meski hal tersebut sah-sah
saja dalam hukum. Seharusnya langkah besar pencalonan diri sebagai presiden
diiringi pula dengan niat yang tulus dalam menata Indonesia ke arah yang lebih
baik. Untuk memperlihatkan kesungguhan, yang terpenting ialah menampakkan track
record.
Berbeda dengan
nama-nama di atas, nama-nama baru yang didukung dengan nada serius seperti Jokowi,
Mahfud MD, Dahlan Iskan, dll turut mewarnai bursa bakal calon presiden untuk
pemilu 2014.
Dalam pernyataannya
dengan kompas.com, Prof Mahfud MD menegaskan tekadnya maju ke bursa pencalonan
presiden adalah untuk menyelamatkan Indonesia. ia berpendapat bahwa yang akan
maju menjadi capres “gitu-gitu aja”. Maka dari itu ia akan berniat akan
mencalonkan diri sebagai presiden. Menurut Mahfud, jika memang ada calon yang
jauh lebih baik dari dirinya, ia bisa saja mundur dan akan mendukung penuh
calon tersebut. Bahkan ia juga mengajak masyarakat untuk memilih yang lebih
baik dari dirinya.
Ditengah
semakin memanasnya persaingan politik dalam suasana mendekati pemilu 2014, KPK
semakin gencar pula membuka aib para koruptor, seperti kasus PKS. Tentu ini merugikan bagi parpol, meski yang
melakukan hanyalah segelintir oknum. Masyarakat terkadang tidak mau tahu, yang
jelas satu lembaga akan kurang nilainya di mata masyarakat.
Bila seperti ini maka kepercayaan
masyarakat terhadap partai politik sebagai panduan dalam memilih calon presiden
bertambah memudar. Padahal, setiap orang yang akan menjadi calon presiden
ataupun calon legeslatif nantinya pada pemilu 2014 mendatang, belum tentu
mewakili mental bobrok dari beberapa kader partainya yang terjerat kasus.
Lalu, untuk
mencalonkan diri dengan menjagokan suatu partai agaknya kurang efektif dewasa
ini. perlu adanya karisma dari diri sendiri untuk menggait suara dalam pemilu.
Ini dikarenakan citra partai yang memburuk di masyarakat. Jika demikian dapat
dikatakan bahwa peran partai sebagai kendaraan politik bagi yang ingin melaju
ke pemilu hanya sebatas formalitas.
Untuk kesekian
kalinya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengancam keluar koalisi sekretariat
gabungan (Setgab). PKS hanya sekedar berani mengancam. Tidak mencerminkan PKS
sebagai partai dakwah.
Pengamat
politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saleh Daulay, juga menurunkan
statement bahwa PKS tidak konsisten. PKS mengatasnamakan
islam secara brutal. Ia mengatakan,
dalam Islam, dimana PKS menganut idiologi tersebut, antara ucapan dan
perbuatan harus selaras. Jika tidak, bisa-bisa PKS disebut partai yang tidak
konsisten.
Perlu
diketahui, PKS kembali berseberangan dengan Setgab soal penaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM). PKS secara tegas menolak penaikan BBM. Sebelumnya, PKS juga
mengatakan menolak. Wacana keluar koalisi sempat mencuat. Namun, wacana itu
tidak terealisasi dan PKS memutuskan tetap berada di dalam koalisi walau 1
jatah Menteri PKS lepas.
Saleh
mengatakan, sebagai partai dakwah, PKS harus keluar dari koalisi. Bukan saja
karena ancaman itu, melainkan juga karena PKS sebagai partai yang mengedepankan
idiologi Islam. Sebagai partai dakwah, PKS semestinya tidak silau dengan
kekuasaan.
Saleh
yakin, keputusan PKS keluar koalisi adalah cara terbaik. Baginya aneh jika PKS
bertahan. Publik saja tahu bagaimana PKS tidak dihargai di internal Setgab.
Seperti yang
diberitakan di Kompas.com, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali
Assegaf menilai sikap PKS menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi adalah bentuk pengalihan isu dan mengada-ada. Penolakan tersebut
diartikan oleh Nurhayati sebagai langkah yang melanggar undang-undang.
Membalikkan citra partai di waktu yang genting dan
meredam isu negatif adalah hal yang mendesak bagi partai-partai yang telah
anjlok namanya di mata masyarakat, seperti PKS. Bahkan, PKS sebagai salah satu
partai yang dipastikan berkoalisi di pemilu 2014 terancam didepak. Mengembalikan
citra dengan mengalihkan isu politik tersebut dengan kedok menolak kenaikan BBM,
meski ada yang cerdas menilai bahwa tindakannya itu adalah pengalihan isu
politik.
Partai Demokrat
pun lebih dulu dibuka belangnya oleh KPK, melalui penangkapan beberapa kadernya
terkait kasus korupsi. Tentunya harus ada manuver baru yang dilakukan Demokrat
demi menangkat citra partainya.
Konvensi yang akan
dilakukan Partai Demokrat dapat membuka kesempatan bagi semua orang untuk
berpartisipasi. Namun sayangnya konvensi tersebut hanya ajang untuk mencari
legitimasi dari masyarakat terhadap calon yang diajukan dari Demokrat. Konvensi yang dilakukan sekedar untuk meraup
simpati rakyat bahwa ada niat baik dari Demokrat untuk memperbaharui kandidat
calon usungannya, mengingat calon kader dari demokrat kurang beruntung di dalam
beberapa survei pemilihan calon presiden.
Sebenarnya sah-sah saja bagi para parpol untuk
memperbaiki citra diri. Akan tetapi, apabila langkah yang dilakukan adalah
dengang jalan melakukan pembohongan publik, ini sangat disayangkan. Situasi negara
kita di zaman orba yang serba terikat dan terkekang dalam hal kebenaran di
dunia politik belum bisa hilang di zaman reformasi ini.
Pesimistik akibat
ketidakpercayaan terhadap para petinggi dan stikma masyarakat bahwa sudah tidak
ada lagi orang yang bisa dipercaya dalam dunia politik membuat makna kata
politik itu sendiri telah bergeser. Politik diartikan sebagai hal-hal yang
kotor, sehingga wajah-wajah baru pun tidak luput dari kecurigaan.
Meski demikian bukan
berarti harapan itu tidak ada, buktinya, dari bebebrapa survei yang dilakukan
sejumlah lembaga terkait calon presiden potensial, nama Jokowi selalu menduduki
peringkat teratas, terlahir sebagai wajah baru di dunia politik yang menggusur
wajah-wajah lama. Meski belum ada survei yang memperoleh data lebih dari 30% untuk
yang memilih Jokowi, angka kisaran 28% persen agaknya telah memberikan bukti
bahwa harapan akan kepemimpinan dengan wajah baru dan pembawa angin perubahan
belum sepenuhnya padam di hati masyarakat.
Jokowi memang telah
mencuri perhatian masyarakat seantero tanah air. Bak selebriti, berbagai media
meliput kegiatan sehari-harinya dalam memimpin Jakarta. Ya, ia hanyalah seorang
Gubernur. Derajat kepemerintahannya lebih rendah daripada menteri. Ditambah
Jokowi adalah orang baru dalam politik tanah air. Kehadiran Jokowi ibarat seperti oase yang muncul di tengah padang pasir
yang tandus bagi para musafir. Musafirnya adalah masyarakat Indonesia, yang
berada ditengah ketandusan kepercayaan akan pemimpin, dan kesimpangsiuran
pembangunan.
Kendati
dirinya selalu berada di pucuk dalam servei berbagai lembaga, bukan berarti
perjalanan Jokowi untuk menjadi capres berjalan mulus. Kendaraan politik
diperlukan untuk melaju pilpres
Partai politik
kuat saat ini masih didominasi kehendak pimpinannya. Di sinilah tertutupnya
ruang bagi figur capres alternatif.
Undang-undang
menyaratkan kalau capres harus diusung partai politik. Sehingga sulit bagi
mereka maju tanpa dukungan partai. Karena itu belum ada pintu dari partai bagi
capres alternatif.
Konvensi yang akan
dilakukan Partai Demokrat juga diragukan dapat membuka kesempatan bagi semua
orang untuk berpartisipasi. Konvensi tersebut diduga hanya menjadi ajang untuk
mencari legitimasi dari masyarakat terhadap calon yang diajukan dari kubu
Cikeas.
Jokowi
sebenarnya bisa saja berpeluang naik untuk pemilu pilpres 2014 melalui partai
yang selama ini menaunginya, yaitu PDI
P. Tentunya dengan syarat apabila ketua Mumum partai ini, Megawati Soekarno
Putri, merelakan dirinya untuk pensiun di kancah pil pres. Dari pemberitaan
yang beredar sepertinya Megawati telah sedikit memberikan lampu hijau. Ia
memastikan dirinya tidak akan ikut dalam pencalonan pilpres. Ia juga akan
mencari “orang muda” untuk mewakili partainya.
Namun
semuanya kembali lagi kepada Jokowi sendiri. Hingga saat ini Jokowi belum
memberikan statement yang menandakan bahwa dirinya berminat mengikuti pemilihan
pilpres. Gubenur DKI yang baru dilantik ini ingin memfokuskan dirinya dalam
mengurus Jakarta.
Demokrat membuka
partainya untuk orang baru, namun sepertinya hanya kedok politik untuk
menggiring publik untuk setuju bahwa kandidat yang telah dipilih Demokrat
adalah orang-orang yang layak dipilih. Wacana
Demokrat akan menarik nama-nama baru yang telah beredar di masyarakat dan
elektabilitasnya tergolong lumayan di berbagai survei, tentu adalah langkah
yang tepat untuk mengembalikan citra publik. Akan tetapi, acara tanam tanaman
baru di sisi tanaman lama agaknya kurang efektif dewasa ini dilakukan untuk
menalrik kepercayaan publik akan partai. Toh, masyarakat sekarang cenderung
berorientasi ke orangnya, malah partai tertentu yang akan mengusung orang
tersebut akan dicap sebagai numpang pamor.
Parpol
juga berperan menentukan pejabat di yudikatif dan legislatif. Dengan
begitu, pimpinan parpol harus betul-betul paham dengan Pancasila dan UUD 1945. Jadi, rekrutment dari parpol harus
benar-benar bersih, karena disinilah penan parpol sebagai penyaring orang-orang
yang berkompeten demi kemajuan bangsa, bukan sekedar menjaring orang-orang yang
memiliki pengaruh kekuasaan dan uang semata.
Berbicara kembali
mengenai peluang Jokowi maju di pilpres, apabila Demokrat betul-betul ingin
menjaring orang yang muda dan kompetan untuk kandidatnya, Jokowi tidak mungkin
masuk ke dalam partai politik lain, seperti demokrat, mengingat tipikal Jokowi yang
bukan “kutu loncat”. Hal tersebut sangat tidak mungkin mengingat kepribadian
Jokowi yang dapat kita nilai dari pemberitaan yang intens menyorotinya
akhir-akhir.
Fenomena menarik dalam dunia perpolitikan bangsa
Indonesia. sementara orang-orang sibuk mencalonkan diri dan menarik simpati
rakyat bahkan ada yang dengan jalan apapun, Jokowi yang tidak perlu bersusah
payah menarik simpati rakyat dengan kualitas dan track recordnya yang
dipercayai rakyat malah bersikap acuh tak acuh mengenai pilpres. Yah,
hakikatnya seorang pemimpin itu diangkat dan dipilih oleh rakyat, bukan
memaksakan diri untuk terpilih.
Namun, menurut para
pengamat Jokowi belum matang untuk melaju di pilpres 2014. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa jika Jokowi ingin mencalonkan diri, ia lebih baik bersabar
untuk menunggu pada pilpres periode berikutnya.
Aliansi Nasionalis
Indonesia(Anindo) menyatakan, Indonesia membutuhkan kepemimpinan nasional yang
kuat secara politik, pemerintahan dan kuat di bidang media. Tapi, lebih utama
lagi, pemimpin tersebut adalah tokoh yang paham terhadap cita-cita Proklamasi
17 Agustus 1945 serta memiliki benang merah cita-cita para pendiri bangsa.
Dewan
Pembina Anindo Hadidjojo Nitimihardjo, Pemimpin Indonesia ke depan mutlak
mengenal amanat penderitaan rakyat sebaik-baiknya. Tidak hanya sekedar dikenal
atau populer karena digarap atau ditokohkan oleh lembaga pembentuk citra yang
sarat dengan kepentingan komersial.
Sementara
itu, terkait pentingnya media, saat ini, media berperan ikut mencerdaskan
kehidupan bangsa. Seperti di orde sebelumnya, banyak media yang berani
dibreidel karena gigih mencerdaskan kehidupan bangsa. Media juga harus jujur dan apa adanya dalam menyampaikan berita dan
menggiring opini publik ke arah yang benar.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, media massa dinilai
memiliki peran besar membentuk opini publik terhadap figur calon presiden dan
wakil presiden. Media massa juga memiliki tugas penting menyampaikan informasi
dan fakta rekam jejak figur tersebut.
Media massa perlu secara gencar dan aktif mengangkat isu-isu
di masa lalu. Pengungkapan rekam jejak para bakal kandidat pemilu presiden ini
merupakan kewajiban media massa.
Ini membantu para pemilih menentukan pilihan yang benar.
Memang rekam jejak yang diungkapkan oleh media massa akan terkesan menjatuhkan
figur tertentu. Alan tetapi, pengulasan rekam jejak para bakal kandidat secara
terus-menerus akan memberikan banyak pilihan kepada masyarakat.
Bagaimanapun juga, masyarakat harus terus diingatkan soal
rekam jejak yang telah dipahatkan para kanddiat. Tak hanya sebatas rekam jejak
di jalur politik, masyarakat juga harus mendapat informasi terkait rekam jejak
terkait harta kekayaan, utang, dan kepentingan yang mendorongnya berlaga
sebagai calon presiden maupun wakil presiden. Rekam jejak juga dapat menjadi
pendidikan politik, tidak hanya bagi figur yang akan diangkat, tetapi juga bagi
masyarakat pemilih.
Calon pemilih potensial, yaitu warga yang akan
menggunakan hak pilh nya untuk pertama kali pada pemilu mendatang juga menjadi
incaran para parpol untuk meraih suara. Memasuki kampus dan memberdayakan
kampus sebagai sarana penunjang perekrutan jumlah suara juga dianggah ampuh
bagi para parpol. Untuk itu perlu adanya pengetahuan dan kesadaran yang tinggi
bagi mahasiswa agar tidak terjebak. Mahasiswa justru menjadi pionir bagi
masyarakat untuk menyalurkan kehendak rakyat, dan ikut mengarahkan masyarakat
dalam memilih pada pemilu mendatang secara cerdas.
Masuknya atribut partai ke dalam kampus sudah menjadi
rahasia publik. Perlu ketegasan dari pihak kampus dan mahasiswa untuk menolak
itu semua.
Surat edaran dari Dikti bahwa atribut parpol tidak boleh
masuk kampus, sebagai bukti perhatian lembaga bahwa urusan perkuliahan tidak
boleh dikotori dengan urusan parpol.
Kampanye terselubung berkedok kegiatan kampus akan sangat
rentan pada massa mendekati pemilu ini.
Kegiatan dengan dalih apapun yang mengarah kepada penarikan
simpati mahasiswa seharusnya diwaspadai oleh mahasiswa. Mahasiswa dinilai harus
lebih kritis di usia lang tergolong labil dalam menentukan pilihan di pemilu,
namun tentunya lebih objektif karena belum terlalu memiliki kepentingan dan
belum terkotori di dunia politik.
Terdapat peran perguruan tinggi sebagai kunci kesuksedan
suatu bangsa.
Cita-cita
reformasi di negara kita dapat dikatakan belum tercapai, dan banyaknya
penyimpangan implementasi Pancasila dan UUD 1945. Reformasi sudah berjalan 15
tahun, tetapi masih menghadapi berbagai kendala, baik secara politik,
sosiologis dan kepemimpinan. Semua kalangan, baik mahasiswa, media, dan yang
lain telah jauh melenceng dari makna reformasi yang sesungguhnya. Kebebasan
tanpa batas ssesungguhnya adalah belenggu yang dampaknya membuat kita mendapat
model pengekangan baru. Inisiatif untuk mementingkan kepentingan negara agaknya
telah luntur dari kita. Kebebasan untuk memikirkan diri sendiri membuat kita
menjerumuskan negara secara tidak langsung, yang artinya menjerumuskan diri
sendiri pula, meski dampaknya samar.
Wajar saja ditengah
kegalauan politik dan keluguan kita memahami kebebasan reformasi, Jokowi dan
pemberitaan tentang dirinya dalam membuat gebrakan-gebarakan untuk Jakarta
membuat dirinya dielu-elukan dan muncul wacana untuk mengadang-gadangkannya
sebagai calon presiden.
Sepertinya nama-nama
seperti Eyang Subur, hanya mengandalkan panasnya kasusnya dengan Adi cs di
media. Ia didukung oleh oleh sekelompok orang untuk mencalokan diri. Dengan
track record, kredibilitas, dan integritas yang telah diperlihatkan oleh
orang-orang seperti Jokowi, seharusnya dapat menjadi pembanding oleh masyarakat
untuk menjadi lebih cerdas memilih kandidat. Bukan tidak mungkin bahwa nantinya
akan ada kandidat calon pilpres kita yang diisi oleh orang-orang yang berwajah
baru. Ini bukan tolok ukur bagi pencalon wajah baru semata. wajah-wajah lama yang dikabarkan akan turun kembali memeriahkan
pesta politik 2014 nanti seharusnya juga bisa kembali dinilai masyarakat dengan
tolok ukur itu.
Tak
berbeda jauh dengan Farhat abbas yang menyatakan ikut mencalonkan diri pula,
seperti yang diketahui bahwa ia adalah pengacara yang belakangan populer di
publik lantaran komentar sensasionalnya yang terkesan selalu ikut campur dalam
urusan selebriti. Perkataannya mengenai sumpah pocong telah terkenal.
Disinilah peran parpol untuk menyediakan
kandidat-kandidat yang kompeten untuk dipilih rakyat.
Ada beberapa nama baru lagi yang turut menyemarakkan survei
pilpres, diantaranya Dahlan Iskan dan Mahfud MD.
Bukan rahasia umum lagi bahwa partai dan uanglah yang
menentukan kesuksesan seseorang di dalam pemilu dan pemilukada. Namun hasil
survei adalah wujud demokrasi. Sebab, dari survei diketahui banyak tokoh yang
dapat dicalonkan menjadi presiden. Inilah bentuk demokrasi yang diinginkan. Semua orang harus punya kesempatan terbuka dan
luas untuk mencalonkan diri dan dipilih. Itu agar demokrasi tetap berjalan.
Ada yang unik dari Mahfud
MD, terkait pernyataannya di kompas.com bahwa dirinya akan maja capres bila
tidak ada yang lebih baik dari dirinya. Bila ada yang lebih baik, ia akan
memberi dukungan penuh kepada capres tersebut. indikasi bahwa mahfud.
Pernyataan ini lantaran ia berkata bahwa
ia ingin melakukan demi kebaikan indonesia. atas nama kebaikan indonesia.
dengan kata lain, mahfud menilai, yang telah ikut dalam bursa ini adalah orng
yang tidak tepat. Mengingat malang melintangnya Mahfud dan ketenarannya di
pemberitaan tanah air, seharusnya ini bukanlah ajang pencitraan bagi dirinya.
Saat ini, tampaknya siapa yang begitu
berambisi mencalonkan diri, justru ambisinya itu akan menjadi bumerang bagi
dirinya. Ini dikarenakan kecurigaan masyarakat dan penilaian masyarakat yang
memukul rata para oknum pejabat.
Terkait penilaian
masyarakat yang menyamaratakan seluruh pejabat senta hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap petinggi negeri, maka kita sampai pada kesimpulan bahwa
perlunya wajah-wajah baru dalam pilpres 2014. Buktinya telah banyak bermunculan usulan nama-nama bakal calon.
Wajah-wajah lama
telah rusak namanya di mata masyarakat. Masyarakat butuh pemimpin yang baru, membawa
harapan baru, bukan wajah-wajah lama, kendati tidak semua dari mereka tidak
idealis, namun kompetensi mereka dalam berkiprah di era kepemimpinannya sudah
merupakan jawaban yang jelas bahwa estafet kepemimpinan ini perlu dibawa lari
kembali oleh generasi muda.
Beberapa nama-nama
baru yang diusung oleh partai, yang baru menyatakan akan mencalon, sekedar
diikutkan dalam survey, atau memang diusung oleh pendukungnya namun belum
memiliki kendaraan parpol, yang jelas, nama-nama baru yang beredar telah
menyatakan bahwa bangsa Indonesia menginginkan perubahan, jauh ditengah
kegalauan masyarakat Indonesia. memang, tidak bisa dipungkiri, pasca era orde
baru dan masuknya era reformasi, kita benar-benar belum mendapatkan
keteraturan, kesejahteraan. Arti
kebebasan yang kita miliki masih disalah artikan. Pembodohan publik juga masih
dianut oleh sebagian kalangan petinggi kita. Ironis memang, memasuki era
reformasi, namun kita belum merasakan reformasi. Kita memang mesti perlu banyak
belajar dan arahan. Setiap lapisan masyarakat kita perlu diatur, dan pengaturan
itu perlu dilakukan dimulai dari pemimpin yang membawa pemikiran baru itu.
Memang merubah
sebuah mainset dan mengatur suatu bangsa bernama indonesia ini bukan semudah
membalikkan telapak tangan. Namun bukan
berarti kita lantas pesimis. Pemilu 2014 ada di depan mata, saatnya kita menaruh
perhatian dengan seksama mengenal calon presiden kita di masa mendatang.
Kita
juga harus cerdas memilih. Jangan pilih yang sekedar populer muncul di tv,
negara kita bukan hanya sekedar pengerjaan sinetron, ini dunia nyata, pilihlah
orang yang benar-benar nyata kualitasnya, dilihat dari track record yang telah
diraihnya.
Kebiasaan lupa dan
pencitraan mesti diwaspadai di masa-masa kritis menjelang pemilu ini. ajang
untuk mendapatkan simpati rakyat, cari
muka secara sadar atau tidak telah dilancarkan oleh orang maupun parpol. Sekarang
tergantung kita untuk memilih, mana pemberitaan yang mencerminkan pencitraan,
dan mana yang mencerminkan kesungguhan.
Pemilihan presiden
yang hanya beberapa menit di bilik pemilihan adalah penentuan nasib bangsa Indonesia
5 tahun mendatang, yang mungkin akan menentukan
gambaran laju pembangunan dan perkembangan indonesia di tahun-tahun berikutnya.
*Opini di atas saya buat berdasarkan analisis saya dari berita-berita di kompas.com, republika.co.id, okezone.com, inilah.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar