Senin, 24 Juni 2013

Seputar Bursa Calon Pemilihan Presiden 2014

Opini terkait beberapa berita di media online mengenai Pemilihan Presiden 2014



Ini adalah tugas UAS mata kuliah Komunikasi Massa saya, daripada membusuk dan sia-sia di laptop, lebih baik saya buang ke sini.
***



Pemilu 2014 semakin dekat. Hawa panas dari suasana menjelang pemilu makin terasa. Para media ikut berperan dalam menyalurkan berbagai berita dan isu politik kepada masyarakat, terkait bakal calon presiden kita.
Semakin memanasnya suasana politik tanah air, beredar beberapa calon yang digadang-gadang oleh pendukungnya, maupun yang telah bersuara mengenai niatnya mencalonkan diri menjadi capres. Nama-nama seperti Rhoma Irama, Farhat Abbas, dan yang baru-baru ini marak diberitakan media infotaiment tanah air, yaitu Eyang Subur, turut meramaikan pemberitaan mengenai bakal calon presiden baru kita. Meski demikian mereka sendiri mengaku hanya sebatas wacana.
Mereka memang wajah baru di dunia pilpres. Akan tetapi nama mereka tentunya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat karena intensitas pemberitaan mereka di televisi seperti farhat abbas dan eyang subur. Siapa yang tidak mengenal Rhoma Irama, sang Raja Dangdut yang melegenda. Wacana mengenai pencalonan diri mereka bertiga sebagai presiden tentu menambah panjang pemberitaan terkait diri mereka di media.
Untuk menjadi presiden, kita ketahui dibutuhkan pendekatan diri terhadap masyarakat. Agaknya untuk point terakhir ini telah disalahartikan oleh mereka. Membangun kedekatan dengan masyarakat dan kepopuleran di tengah masyarakat memang dibutuhkan untuk menggalang dukungan, namun masih ada point-point penting yang harus dipenuhi oleh seorang calon presiden, yaitu wibawa, kredibilitas, kualitas, dan track record.
Masyarakat kita pun tampaknya juga kian cerdas dalam menilai calon-calon presiden yang masih dikategorikan jauh dari point-point di atas. Kendati pencalonan diri sebagai presiden adalah hak setiap warga negara, namun seleksi di dalam diri penting untuk dilakukan.  Perlu dipahami bahwa pemilihan capres adalah hal yang sakral, sama sekali berbeda dengan acara pencarian bakat di televisi. Tidak mestinya setiap elemen serta merta mencalonkan diri, meski hal tersebut sah-sah saja dalam hukum. Seharusnya langkah besar pencalonan diri sebagai presiden diiringi pula dengan niat yang tulus dalam menata Indonesia ke arah yang lebih baik. Untuk memperlihatkan kesungguhan, yang terpenting ialah menampakkan track record.
Berbeda dengan nama-nama di atas, nama-nama baru yang didukung dengan nada serius seperti Jokowi, Mahfud MD, Dahlan Iskan, dll turut mewarnai bursa bakal calon presiden untuk pemilu 2014.
Dalam pernyataannya dengan kompas.com, Prof Mahfud MD menegaskan tekadnya maju ke bursa pencalonan presiden adalah untuk menyelamatkan Indonesia. ia berpendapat bahwa yang akan maju menjadi capres “gitu-gitu aja”. Maka dari itu ia akan berniat akan mencalonkan diri sebagai presiden. Menurut Mahfud, jika memang ada calon yang jauh lebih baik dari dirinya, ia bisa saja mundur dan akan mendukung penuh calon tersebut. Bahkan ia juga mengajak masyarakat untuk memilih yang lebih baik dari dirinya.
            Ditengah semakin memanasnya persaingan politik dalam suasana mendekati pemilu 2014, KPK semakin gencar pula membuka aib para koruptor, seperti kasus PKS. Tentu ini merugikan bagi parpol, meski yang melakukan hanyalah segelintir oknum. Masyarakat terkadang tidak mau tahu, yang jelas satu lembaga akan kurang nilainya di mata masyarakat.
            Bila seperti ini maka kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sebagai panduan dalam memilih calon presiden bertambah memudar. Padahal, setiap orang yang akan menjadi calon presiden ataupun calon legeslatif nantinya pada pemilu 2014 mendatang, belum tentu mewakili mental bobrok dari beberapa kader partainya yang terjerat kasus.
Lalu, untuk mencalonkan diri dengan menjagokan suatu partai agaknya kurang efektif dewasa ini. perlu adanya karisma dari diri sendiri untuk menggait suara dalam pemilu. Ini dikarenakan citra partai yang memburuk di masyarakat. Jika demikian dapat dikatakan bahwa peran partai sebagai kendaraan politik bagi yang ingin melaju ke pemilu hanya sebatas formalitas.
Untuk kesekian kalinya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengancam keluar koalisi sekretariat gabungan (Setgab). PKS hanya sekedar berani mengancam. Tidak mencerminkan PKS sebagai partai dakwah.
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saleh Daulay, juga menurunkan statement bahwa PKS tidak konsisten. PKS mengatasnamakan islam secara brutal. Ia mengatakan,  dalam Islam, dimana PKS menganut idiologi tersebut, antara ucapan dan perbuatan harus selaras. Jika tidak, bisa-bisa PKS disebut partai yang tidak konsisten.
Perlu diketahui, PKS kembali berseberangan dengan Setgab soal penaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). PKS secara tegas menolak penaikan BBM. Sebelumnya, PKS juga mengatakan menolak. Wacana keluar koalisi sempat mencuat. Namun, wacana itu tidak terealisasi dan PKS memutuskan tetap berada di dalam koalisi walau 1 jatah Menteri PKS lepas.
Saleh mengatakan, sebagai partai dakwah, PKS harus keluar dari koalisi. Bukan saja karena ancaman itu, melainkan juga karena PKS sebagai partai yang mengedepankan idiologi Islam. Sebagai partai dakwah, PKS semestinya tidak silau dengan kekuasaan.
Saleh yakin, keputusan PKS keluar koalisi adalah cara terbaik. Baginya aneh jika PKS bertahan. Publik saja tahu bagaimana PKS tidak dihargai di internal Setgab.
Seperti yang diberitakan di Kompas.com, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf menilai sikap PKS menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi adalah bentuk pengalihan isu dan mengada-ada. Penolakan tersebut diartikan oleh Nurhayati sebagai langkah yang melanggar undang-undang.
Membalikkan citra partai di waktu yang genting dan meredam isu negatif adalah hal yang mendesak bagi partai-partai yang telah anjlok namanya di mata masyarakat, seperti PKS. Bahkan, PKS sebagai salah satu partai yang dipastikan berkoalisi di pemilu 2014 terancam didepak. Mengembalikan citra dengan mengalihkan isu politik tersebut dengan kedok menolak kenaikan BBM, meski ada yang cerdas menilai bahwa tindakannya itu adalah pengalihan isu politik.
Partai Demokrat pun lebih dulu dibuka belangnya oleh KPK, melalui penangkapan beberapa kadernya terkait kasus korupsi. Tentunya harus ada manuver baru yang dilakukan Demokrat demi menangkat citra partainya.
Konvensi yang akan dilakukan Partai Demokrat dapat membuka kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi. Namun sayangnya konvensi tersebut hanya ajang untuk mencari legitimasi dari masyarakat terhadap calon yang diajukan dari Demokrat. Konvensi yang dilakukan sekedar untuk meraup simpati rakyat bahwa ada niat baik dari Demokrat untuk memperbaharui kandidat calon usungannya, mengingat calon kader dari demokrat kurang beruntung di dalam beberapa survei pemilihan calon presiden.
Sebenarnya sah-sah saja bagi para parpol untuk memperbaiki citra diri. Akan tetapi, apabila langkah yang dilakukan adalah dengang jalan melakukan pembohongan publik, ini sangat disayangkan. Situasi negara kita di zaman orba yang serba terikat dan terkekang dalam hal kebenaran di dunia politik belum bisa hilang di zaman reformasi ini.
Pesimistik akibat ketidakpercayaan terhadap para petinggi dan stikma masyarakat bahwa sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya dalam dunia politik membuat makna kata politik itu sendiri telah bergeser. Politik diartikan sebagai hal-hal yang kotor, sehingga wajah-wajah baru pun tidak luput dari kecurigaan.
Meski demikian bukan berarti harapan itu tidak ada, buktinya, dari bebebrapa survei yang dilakukan sejumlah lembaga terkait calon presiden potensial, nama Jokowi selalu menduduki peringkat teratas, terlahir sebagai wajah baru di dunia politik yang menggusur wajah-wajah lama. Meski belum ada survei yang memperoleh data lebih dari 30% untuk yang memilih Jokowi, angka kisaran 28% persen agaknya telah memberikan bukti bahwa harapan akan kepemimpinan dengan wajah baru dan pembawa angin perubahan belum sepenuhnya padam di hati masyarakat.
Jokowi memang telah mencuri perhatian masyarakat seantero tanah air. Bak selebriti, berbagai media meliput kegiatan sehari-harinya dalam memimpin Jakarta. Ya, ia hanyalah seorang Gubernur. Derajat kepemerintahannya lebih rendah daripada menteri. Ditambah Jokowi adalah orang baru dalam politik tanah air. Kehadiran Jokowi ibarat seperti oase yang muncul di tengah padang pasir yang tandus bagi para musafir. Musafirnya adalah masyarakat Indonesia, yang berada ditengah ketandusan kepercayaan akan pemimpin, dan kesimpangsiuran pembangunan.
            Kendati dirinya selalu berada di pucuk dalam servei berbagai lembaga, bukan berarti perjalanan Jokowi untuk menjadi capres berjalan mulus. Kendaraan politik diperlukan untuk melaju pilpres
Partai politik kuat saat ini masih didominasi kehendak pimpinannya. Di sinilah tertutupnya ruang bagi figur capres alternatif.
Undang-undang menyaratkan kalau capres harus diusung partai politik. Sehingga sulit bagi mereka maju tanpa dukungan partai. Karena itu belum ada pintu dari partai bagi capres alternatif.
Konvensi yang akan dilakukan Partai Demokrat juga diragukan dapat membuka kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi. Konvensi tersebut diduga hanya menjadi ajang untuk mencari legitimasi dari masyarakat terhadap calon yang diajukan dari kubu Cikeas.
            Jokowi sebenarnya bisa saja berpeluang naik untuk pemilu pilpres 2014 melalui partai yang selama ini menaunginya, yaitu  PDI P. Tentunya dengan syarat apabila ketua Mumum partai ini, Megawati Soekarno Putri, merelakan dirinya untuk pensiun di kancah pil pres. Dari pemberitaan yang beredar sepertinya Megawati telah sedikit memberikan lampu hijau. Ia memastikan dirinya tidak akan ikut dalam pencalonan pilpres. Ia juga akan mencari “orang muda” untuk mewakili partainya.
            Namun semuanya kembali lagi kepada Jokowi sendiri. Hingga saat ini Jokowi belum memberikan statement yang menandakan bahwa dirinya berminat mengikuti pemilihan pilpres. Gubenur DKI yang baru dilantik ini ingin memfokuskan dirinya dalam mengurus Jakarta.
Demokrat membuka partainya untuk orang baru, namun sepertinya hanya kedok politik untuk menggiring publik untuk setuju bahwa kandidat yang telah dipilih Demokrat adalah orang-orang yang layak dipilih. Wacana Demokrat akan menarik nama-nama baru yang telah beredar di masyarakat dan elektabilitasnya tergolong lumayan di berbagai survei, tentu adalah langkah yang tepat untuk mengembalikan citra publik. Akan tetapi, acara tanam tanaman baru di sisi tanaman lama agaknya kurang efektif dewasa ini dilakukan untuk menalrik kepercayaan publik akan partai. Toh, masyarakat sekarang cenderung berorientasi ke orangnya, malah partai tertentu yang akan mengusung orang tersebut akan dicap sebagai numpang pamor.
Parpol juga berperan menentukan pejabat di yudikatif dan legislatif.  Dengan begitu, pimpinan parpol harus betul-betul paham dengan Pancasila dan UUD 1945. Jadi, rekrutment dari parpol harus benar-benar bersih, karena disinilah penan parpol sebagai penyaring orang-orang yang berkompeten demi kemajuan bangsa, bukan sekedar menjaring orang-orang yang memiliki pengaruh kekuasaan dan uang semata.
Berbicara kembali mengenai peluang Jokowi maju di pilpres, apabila Demokrat betul-betul ingin menjaring orang yang muda dan kompetan untuk kandidatnya, Jokowi tidak mungkin masuk ke dalam partai politik lain, seperti demokrat, mengingat tipikal Jokowi yang bukan “kutu loncat”. Hal tersebut sangat tidak mungkin mengingat kepribadian Jokowi yang dapat kita nilai dari pemberitaan yang intens menyorotinya akhir-akhir.
Fenomena menarik dalam dunia perpolitikan bangsa Indonesia. sementara orang-orang sibuk mencalonkan diri dan menarik simpati rakyat bahkan ada yang dengan jalan apapun, Jokowi yang tidak perlu bersusah payah menarik simpati rakyat dengan kualitas dan track recordnya yang dipercayai rakyat malah bersikap acuh tak acuh mengenai pilpres. Yah, hakikatnya seorang pemimpin itu diangkat dan dipilih oleh rakyat, bukan memaksakan diri untuk terpilih.
Namun, menurut para pengamat Jokowi belum matang untuk melaju di pilpres 2014. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jika Jokowi ingin mencalonkan diri, ia lebih baik bersabar untuk menunggu pada pilpres periode berikutnya.
              Aliansi Nasionalis Indonesia(Anindo) menyatakan, Indonesia membutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat secara politik, pemerintahan dan kuat di bidang media. Tapi, lebih utama lagi, pemimpin tersebut adalah tokoh yang paham terhadap cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 serta memiliki benang merah cita-cita para pendiri bangsa.
              Dewan Pembina Anindo Hadidjojo Nitimihardjo, Pemimpin Indonesia ke depan mutlak mengenal amanat penderitaan rakyat sebaik-baiknya. Tidak hanya sekedar dikenal atau populer karena digarap atau ditokohkan oleh lembaga pembentuk citra yang sarat dengan kepentingan komersial.           
              Sementara itu, terkait pentingnya media, saat ini, media berperan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti di orde sebelumnya, banyak media yang berani dibreidel karena gigih mencerdaskan kehidupan bangsa. Media juga harus jujur dan apa adanya dalam menyampaikan berita dan menggiring opini publik ke arah yang benar.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, media massa dinilai memiliki peran besar membentuk opini publik terhadap figur calon presiden dan wakil presiden. Media massa juga memiliki tugas penting menyampaikan informasi dan fakta rekam jejak figur tersebut.
Media massa perlu secara gencar dan aktif mengangkat isu-isu di masa lalu. Pengungkapan rekam jejak para bakal kandidat pemilu presiden ini merupakan kewajiban media massa.
Ini membantu para pemilih menentukan pilihan yang benar. Memang rekam jejak yang diungkapkan oleh media massa akan terkesan menjatuhkan figur tertentu. Alan tetapi, pengulasan rekam jejak para bakal kandidat secara terus-menerus akan memberikan banyak pilihan kepada masyarakat.
Bagaimanapun juga, masyarakat harus terus diingatkan soal rekam jejak yang telah dipahatkan para kanddiat. Tak hanya sebatas rekam jejak di jalur politik, masyarakat juga harus mendapat informasi terkait rekam jejak terkait harta kekayaan, utang, dan kepentingan yang mendorongnya berlaga sebagai calon presiden maupun wakil presiden. Rekam jejak juga dapat menjadi pendidikan politik, tidak hanya bagi figur yang akan diangkat, tetapi juga bagi masyarakat pemilih.
Calon pemilih potensial, yaitu warga yang akan menggunakan hak pilh nya untuk pertama kali pada pemilu mendatang juga menjadi incaran para parpol untuk meraih suara. Memasuki kampus dan memberdayakan kampus sebagai sarana penunjang perekrutan jumlah suara juga dianggah ampuh bagi para parpol. Untuk itu perlu adanya pengetahuan dan kesadaran yang tinggi bagi mahasiswa agar tidak terjebak. Mahasiswa justru menjadi pionir bagi masyarakat untuk menyalurkan kehendak rakyat, dan ikut mengarahkan masyarakat dalam memilih pada pemilu mendatang secara cerdas.
Masuknya atribut partai ke dalam kampus sudah menjadi rahasia publik. Perlu ketegasan dari pihak kampus dan mahasiswa untuk menolak itu semua.
Surat edaran dari Dikti bahwa atribut parpol tidak boleh masuk kampus, sebagai bukti perhatian lembaga bahwa urusan perkuliahan tidak boleh dikotori dengan urusan parpol.
Kampanye terselubung berkedok kegiatan kampus akan sangat rentan pada massa mendekati pemilu ini.
Kegiatan dengan dalih apapun yang mengarah kepada penarikan simpati mahasiswa seharusnya diwaspadai oleh mahasiswa. Mahasiswa dinilai harus lebih kritis di usia lang tergolong labil dalam menentukan pilihan di pemilu, namun tentunya lebih objektif karena belum terlalu memiliki kepentingan dan belum terkotori di dunia politik.
Terdapat peran perguruan tinggi sebagai kunci kesuksedan suatu bangsa.
Cita-cita reformasi di negara kita dapat dikatakan belum tercapai, dan banyaknya penyimpangan implementasi Pancasila dan UUD 1945. Reformasi sudah berjalan 15 tahun, tetapi masih menghadapi berbagai kendala, baik secara politik, sosiologis dan kepemimpinan. Semua kalangan, baik mahasiswa, media, dan yang lain telah jauh melenceng dari makna reformasi yang sesungguhnya. Kebebasan tanpa batas ssesungguhnya adalah belenggu yang dampaknya membuat kita mendapat model pengekangan baru. Inisiatif untuk mementingkan kepentingan negara agaknya telah luntur dari kita. Kebebasan untuk memikirkan diri sendiri membuat kita menjerumuskan negara secara tidak langsung, yang artinya menjerumuskan diri sendiri pula, meski dampaknya samar.
Wajar saja ditengah kegalauan politik dan keluguan kita memahami kebebasan reformasi, Jokowi dan pemberitaan tentang dirinya dalam membuat gebrakan-gebarakan untuk Jakarta membuat dirinya dielu-elukan dan muncul wacana untuk mengadang-gadangkannya sebagai calon presiden.
Sepertinya nama-nama seperti Eyang Subur, hanya mengandalkan panasnya kasusnya dengan Adi cs di media. Ia didukung oleh oleh sekelompok orang untuk mencalokan diri. Dengan track record, kredibilitas, dan integritas yang telah diperlihatkan oleh orang-orang seperti Jokowi, seharusnya dapat menjadi pembanding oleh masyarakat untuk menjadi lebih cerdas memilih kandidat. Bukan tidak mungkin bahwa nantinya akan ada kandidat calon pilpres kita yang diisi oleh orang-orang yang berwajah baru. Ini bukan tolok ukur bagi pencalon wajah baru semata. wajah-wajah lama yang  dikabarkan akan turun kembali memeriahkan pesta politik 2014 nanti seharusnya juga bisa kembali dinilai masyarakat dengan tolok ukur itu.
Tak berbeda jauh dengan Farhat abbas yang menyatakan ikut mencalonkan diri pula, seperti yang diketahui bahwa ia adalah pengacara yang belakangan populer di publik lantaran komentar sensasionalnya yang terkesan selalu ikut campur dalam urusan selebriti. Perkataannya mengenai sumpah pocong telah terkenal.
Disinilah peran parpol untuk menyediakan kandidat-kandidat yang kompeten untuk dipilih rakyat.
Ada beberapa nama baru lagi yang turut menyemarakkan survei pilpres, diantaranya Dahlan Iskan dan Mahfud MD.
Bukan rahasia umum lagi bahwa partai dan uanglah yang menentukan kesuksesan seseorang di dalam pemilu dan pemilukada. Namun hasil survei adalah wujud demokrasi. Sebab, dari survei diketahui banyak tokoh yang dapat dicalonkan menjadi presiden. Inilah bentuk demokrasi yang diinginkan.  Semua orang harus punya kesempatan terbuka dan luas untuk mencalonkan diri dan dipilih. Itu agar demokrasi tetap berjalan.

Ada yang unik dari Mahfud MD, terkait pernyataannya di kompas.com bahwa dirinya akan maja capres bila tidak ada yang lebih baik dari dirinya. Bila ada yang lebih baik, ia akan memberi dukungan penuh kepada capres tersebut. indikasi bahwa mahfud. Pernyataan ini lantaran ia berkata  bahwa ia ingin melakukan demi kebaikan indonesia. atas nama kebaikan indonesia. dengan kata lain, mahfud menilai, yang telah ikut dalam bursa ini adalah orng yang tidak tepat. Mengingat malang melintangnya Mahfud dan ketenarannya di pemberitaan tanah air, seharusnya ini bukanlah ajang pencitraan bagi dirinya. Saat ini, tampaknya  siapa yang begitu berambisi mencalonkan diri, justru ambisinya itu akan menjadi bumerang bagi dirinya. Ini dikarenakan kecurigaan masyarakat dan penilaian masyarakat yang memukul rata para oknum pejabat.
Terkait penilaian masyarakat yang menyamaratakan seluruh pejabat senta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap petinggi negeri, maka kita sampai pada kesimpulan bahwa perlunya wajah-wajah baru dalam pilpres 2014. Buktinya telah banyak bermunculan  usulan nama-nama bakal calon.
Wajah-wajah lama telah rusak namanya di mata masyarakat. Masyarakat butuh pemimpin yang baru, membawa harapan baru, bukan wajah-wajah lama, kendati tidak semua dari mereka tidak idealis, namun kompetensi mereka dalam berkiprah di era kepemimpinannya sudah merupakan jawaban yang jelas bahwa estafet kepemimpinan ini perlu dibawa lari kembali oleh generasi muda.
Beberapa nama-nama baru yang diusung oleh partai, yang baru menyatakan akan mencalon, sekedar diikutkan dalam survey, atau memang diusung oleh pendukungnya namun belum memiliki kendaraan parpol, yang jelas, nama-nama baru yang beredar telah menyatakan bahwa bangsa Indonesia menginginkan perubahan, jauh ditengah kegalauan masyarakat Indonesia. memang, tidak bisa dipungkiri, pasca era orde baru dan masuknya era reformasi, kita benar-benar belum mendapatkan keteraturan, kesejahteraan. Arti kebebasan yang kita miliki masih disalah artikan. Pembodohan publik juga masih dianut oleh sebagian kalangan petinggi kita. Ironis memang, memasuki era reformasi, namun kita belum merasakan reformasi. Kita memang mesti perlu banyak belajar dan arahan. Setiap lapisan masyarakat kita perlu diatur, dan pengaturan itu perlu dilakukan dimulai dari pemimpin yang membawa pemikiran baru itu.
Memang merubah sebuah mainset dan mengatur suatu bangsa bernama indonesia ini bukan semudah membalikkan telapak tangan. Namun bukan berarti kita lantas pesimis. Pemilu 2014 ada di depan mata, saatnya kita menaruh perhatian dengan seksama mengenal calon presiden kita di masa mendatang.
Kita juga harus cerdas memilih. Jangan pilih yang sekedar populer muncul di tv, negara kita bukan hanya sekedar pengerjaan sinetron, ini dunia nyata, pilihlah orang yang benar-benar nyata kualitasnya, dilihat dari track record yang telah diraihnya.
Kebiasaan lupa dan pencitraan mesti diwaspadai di masa-masa kritis menjelang pemilu ini. ajang untuk mendapatkan simpati rakyat, cari muka secara sadar atau tidak telah dilancarkan oleh orang maupun parpol. Sekarang tergantung kita untuk memilih, mana pemberitaan yang mencerminkan pencitraan, dan mana yang mencerminkan kesungguhan.

Pemilihan presiden yang hanya beberapa menit di bilik pemilihan adalah penentuan nasib bangsa Indonesia 5 tahun mendatang, yang  mungkin akan menentukan gambaran laju pembangunan dan perkembangan indonesia di tahun-tahun berikutnya. 

 *Opini di atas saya buat berdasarkan analisis saya dari berita-berita di kompas.com, republika.co.id, okezone.com,  inilah.com.
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar